Opini
Oleh: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
Koran, ADA satu pernyataan yang mengandung bobot politik dan moral yang tidak kecil ketika Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan akan mengevaluasi seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Pernyataan itu disampaikan saat pelantikan 17 Kajati dan 20 pejabat eselon II di Gedung Utama Kejaksaan Agung, 23 Oktober 2025. Di tengah ruang yang dipenuhi seragam cokelat dan sumpah jabatan, kalimat itu terasa sebagai sinyal pergantian arah: dari rutinitas administrasi menjadi tekad pemberantasan korupsi yang lebih tegas.
Pernyataan tersebut hadir tidak lama setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan kegusaran terhadap perilaku sebagian direksi BUMN yang hidup dalam kenyamanan fasilitas, tantiem, dan gaji yang berkali lipat dari standar upah masyarakat, namun gagal menghadirkan nilai tambah bagi negara. Di tengah jargon efisiensi dan kemandirian ekonomi, negara justru menanggung beban akibat tata kelola yang buruk dan dugaan korupsi yang nilainya disebut-sebut mendekati seribu triliun rupiah. Angka itu, jika tepat, bukan sekadar kriminalitas, melainkan skandal struktural.
Instruksi Presiden agar Kejaksaan menindak para petinggi BUMN koruptif seolah menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak lagi diposisikan sebagai simbol moral, melainkan sebagai strategi mempertahankan kesehatan ekonomi negara. Namun keberanian menindak di pusat tidak akan bermakna jika struktur di daerah dibiarkan keropos. Evaluasi terhadap Kajati dan Kajari menjadi relevan justru karena di sejumlah wilayah, institusi hukum tidak berdiri sebagai penjaga keadilan, tetapi berubah menjadi bagian dari permainan. Dalam beberapa kasus, kejaksaan disebut terlibat dalam pengaturan proyek pemerintah daerah, menjadi backing kelompok tertentu, mengunci sirkulasi usaha lokal dan mematikan ruang hidup kontraktor kecil. Praktik semacam ini tidak hanya mencederai birokrasi, tetapi memproduksi ketidakadilan yang lebih sunyi, dan karena itu jauh lebih berbahaya.
Dalam kajian teori negara modern, legitimasi hukum merupakan pilar yang menyangga bangunan kedaulatan. Ketika lembaga penegak hukum kehilangan kepercayaan publik, negara kehilangan otoritas moralnya. Selama beberapa waktu terakhir, kepercayaan itu terkikis oleh praktik penegakan hukum yang dipersepsikan selektif, politis, dan transaksional. Kepolisian dan KPK, yang dahulu menjadi simbol harapan, kini justru menjadi bahan gugatan sebagian masyarakat. Dalam situasi seperti itu, Kejaksaan tidak hanya bekerja menindak hukum, tetapi juga memulihkan kepercayaan.
Namun memulihkan kepercayaan bukan perkara mengucapkan tekad. Ia membutuhkan konsistensi yang terus-menerus. Pemberantasan korupsi yang hanya menyasar pejabat tertentu, tanpa merambah ke struktur internal lembaga penegak hukumnya sendiri, hanya akan menghasilkan “sapu pilih” alih-alih “sapu bersih.” Persoalan dasarnya bukan sekadar siapa yang ditindak, tetapi bagaimana institusi memastikan dirinya tidak menjadi bagian dari persoalan.
Ada satu refleksi etis yang penting, diman orang dapat terlihat bersih karena benar-benar menjaga moralitasnya. Namun orang juga dapat tampak bersih karena belum mendapatkan peluang, atau karena sistem belum membuka celah bagi kesalahannya muncul ke permukaan. Di sinilah ujian paling substansial bagi Kejaksaan, bukan hanya menindak yang korup, tetapi membangun mekanisme yang membuat korup itu sulit dilakukan.
Janji pemberantasan korupsi selalu terdengar kuat di podium. Tetapi sejarah negara ini mengingatkan kita bahwa janji hanya berarti sejauh konsistensi yang mengikutinya. Jika evaluasi benar-benar dilakukan ke segala arah, ke pusat, ke daerah, ke internal, dan ke eksternal, maka Kejaksaan tidak hanya menjalankan tugas hukum, tetapi juga memperbaiki arah republik.
Dan ketika sapu telah diangkat, publik akan menunggu ke mana ia akan bergerak. Ke luar, atau juga ke dalam. Karena di situlah integritas diuji.(*)





